HaraJawa - Oleh: Agatha Yunita
Masih di siang yang sama, dan aku harus
menunggu bis yang akan membawaku pulang ke rumah agar tak terlalu larut
sesampainya nanti. Kulihat bis yang biasa membawaku, berjalan perlahan
seperti muatannya telah keberatan. "Ahhh... harus berdiri lagi deh,"
batinku. Aku menjejakkan kaki ke dalam bis dan memang seperti sudah tak
ada tempat duduk manis di sana.
Aku memaksakan diri masuk ke arah
tengah, berharap masih ada bangku kosong yang menyisip di sana. Hasilnya
nihil. Tetapi aku masih bisa lebih tenang karena perjalananku dua kali
lebih jauh dari biasanya hari ini.
"Duduk di sini aja non, aku
udah deket kok," sapa seorang pria yang tengah duduk satu baris dari
bangku tempatku berdiri. Karena kaki sudah pegal, dengan tanpa sungkan
akupun beranjak duduk di bangkunya. Menikmati kursi tersebut aku tak
sadar bahwa penumpang sudah semakin sepi dan pria yang tadi memberikanku
kursinya masih berdiri di sana. Aku mulai memperhatikannya. Baik juga
dia memberiku kursi ini sekalipun dia juga masih harus menempuh jarak
jauh.
Beberapa menit kemudian, bangku di sebelahku kosong. Aku bergeser. Dan ia duduk di sebelahku.
"Aryo," ia menyodorkan tangan dengan ramah. "Elin." Aku balik menyodorkan tangan, dan di situlah awal perkenalanku dengan Aryo.
***
Sudah
4 bulan ini hatiku diliputi bunga-bunga. Aku semakin bersemangat, tak
peduli jalanan macet, pekerjaan berat, atau masalah di kantor, semua
terasa baik-baik saja sejak kehadiran Aryo.
Belakangan ini ia selalu menjemputku, kami akan pergi sekedar makan dan ngobrol terlebih dahulu sebelum menjalani rute bis kami.
Sekalipun
tubuh kelelahan, setidaknya aku senang dan cukup puas bisa selalu
berlama-lama dengannya. Rasanya seisi hariku dipenuhi dengan namanya,
dengan keceriaan, kelembutan, keromantisan serta pengetahuannya yang
luas itu. Ia hampir selalu membuatku terkesima karena ia tahu banyak
hal.
Singkat kata, ia merebut hatiku.
Dalam hanya 4 bulan
saja, hatiku terkait terlalu erat. Aku enggan melepaskan, dan tak ingin
melepaskannya. Aku berharap hubungan kami ini segera berlanjut ke arah
yang lebih serius.
"Ar, ibuku bertanya-tanya tentang kamu lho. Dia ingin bertemu kamu, karena tak puas mendengarkan cerita dariku,"
"Hmm...
ok. Nanti kita atur ketemuan dengan ibumu ya, sayang." Aryo terlihat
tenang dan seperti yakin jalan yang akan kami tempuh ke depannya. Itulah
sebabnya aku tak pernah khawatir dan curiga apa-apa terhadapnya.
Dan mungkin harapanku terlalu tinggi. Aku terlalu naif saat berhadapan dengan cinta. Hingga aku harus bertemu luka.
***
Sudah
seminggu ini Aryo bilang sedang sibuk. Aku jadi lebih sering pulang
sendiri. Komunikasi juga agak sedikit sulit, dan hatiku mulai
bertanya-tanya. Ada apa dengannya ya?
Hari itu aku tak ingin
langsung pulang. Walaupun aku tahu akan tiba di rumah larut malam jika
tak bergegas mencari bis. Apalagi tak ada Aryo yang menemaniku. Ah, tak
apa. Toh biasanya aku juga seorang diri.
Menikmati secangkir hot
chocolate dan pancake rumahan buatan sebuah cafe kecil di sudut jalan,
akupun puas. Aku merasa lebih tenang dan dapat berpikir jernih. Aku akan
pulang, beristirahat dan berharap Aryo akan menghubungiku keesokan
harinya.
Dan sesaat setelah aku hendak menjejakkan kaki keluar,
aku terdiam. Aku melihat sesosok pria yang kukenal beberapa lama ini.
Aryo. Ia menggandeng tangan seorang wanita yang anggun masuk ke dalam
mobil. Dengan membawa kantungan plastik belanjaan yang cukup banyak
jumlahnya. Sedang apa ya dia?
Tak ingin membuatnya terkejut, aku memutuskan menahan diri dan bertanya via telepon sesampainya aku di rumah nanti.
"Ar,
kamu kenapa sih susah dihubungi akhir-akhir ini?" tanyaku menahan
emosi, karena aku tak ingin ia menganggapku terlalu cemburu atau
mengekang.
"Aku sedang sibuk saja sih belakangan ini, maaf ya," katanya.
"Hmmm... kalau memang banyak yang harus kamu kerjakan dan kamu merasa keberatan, aku mau lho ngebantu kamu,"
"Nggak
perlu Lin. Untuk urusan kali ini, kayaknya aku nggak bisa melibatkan
kamu," suaranya mulai bergetar. Akupun curiga, dan merasa was-was, ada
apa sih ini?
Belum sempat aku bertanya, Aryo sudah mengambil suara dulu.
"Lin,
aku boleh bertemu kamu? Aku tahu ini sudah malam. Tapi aku pengen
banget peluk kamu," kata-kata Aryo spontan membuatku senang. Aku sendiri
tak tega dengan suaranya, ia terlihat sedang membutuhkan aku saat ini.
"Iya, aku akan ijin ibu. Dia pasti mengerti kalau memang ada yang penting."
"Tidak.
Aku tidak akan lama kok, aku akan segera sampai di rumahmu 30 menit
lagi. Aku janji, nggak akan lama." Teleponpun ditutup dan aku dengan
cemas menunggu kedatangan Aryo pertama kali ke rumahku.
***
"Aku
udah di depan." Demikian bunyi SMSnya. Segera aku berlari ke depan
dengan membawa jaket lengkap dengan tas slempangku. Aku tak yakin Aryo
akan masuk, sehingga aku bersiap membawa perlengkapan pergi.
"Kita
nggak usah ke mana-mana Lin, di sini aja. Nggak lama kok. Nggak enak
udah terlalu malem." Aku mengangguk. Dan tiba-tiba ia meraihku,
memelukku dalam-dalam dan erat. Tubuhnya kurasakan bergetar, mungkin dia
menangis. Aku hanya membalas pelukannya lebih erat, dan menenangkan
dia.
"Kamu kenapa sih Ar?"
"Lin, aku udah salah sama kamu. Seharusnya hubungan ini nggak boleh terjalin."
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku akan menikah bulan depan dengan tunanganku."
Kalimat itu membuatku terkejut dan spontan melepaskan tanganku dari tubuhnya. Aku terdiam sejenak, tak percaya.
"Kamu mempermainkan aku, Ar?" aku bertanya lirih tak jelas, berusaha meyakinkan diri kalau ini cuma mimpi.
"Aku
nggak berniat mempermainkan kamu Lin. Aku beneran jatuh cinta sama kamu
sejak pertama kali kita bertemu. Sayangnya, pada saat itu statusku
tidak lagi single. Dan, kamu boleh bilang aku egois. Tetapi, kamu harus
tahu bahwa aku nggak main-main, perasaanku ini beneran sama kamu!"
Aku bingung dengan penjelasan Aryo yang terdengar hanya menguntungkan dirinya saja.
"Mungkin memang kita bertemu di waktu yang nggak tepat, itu saja," sambungnya.
"Ok.
Tak usah berbicara lagi. Aku cukup tahu ini, dan aku sudah bisa menebak
selanjutnya apa," aku tertunduk kecewa dan mengambil ancang-ancang
masuk ke dalam rumah. Aryo meraih tanganku, berusaha menarikku kembali
ke pelukannya.
"Maaf Lin... maaf... tapi percayalah, perasaanku
nggak akan berubah. Aku akan tetap sayang kamu," matanya berkaca-kaca.
Yang hanya kupandang tanpa balasan sepatah katapun.
Aku beranjak masuk. Menahan semua air mata yang nyaris tak terbendung di depannya tadi.
Akhirnya,
kutumpahkan semua isak tangisku di atas tempat tidurku. Memungut semua
harapanku yang telah kugantung tinggi-tinggi, dan kumasukkan lagi ke
dalam hati.
Tuhan... mengapa sih KAU harus mempertemukan kami kalau pada akhirnya kami tak bisa saling memiliki?
0 komentar:
Posting Komentar